Monday, January 14, 2013

Sumber Ajaran Islam (1): Al-Quran

Inilah Islam | Monday, January 14, 2013
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam yang utama dan pertama dalam Islam. Sumber ajaran Islam (Hukum Islam, Syariat Islam, Risalah Islam) itu ada tiga, yakni Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijtihad. 
Yang pertama (Al-QUran) dan kedua (Hadits) asalnya langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga (Ijtihad) merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

Al-Quran: Sumber Ajaran Islam Utama
Secara harfiyah, Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18.
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengum­pulkannya dan ‘membacanya’. Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.
Secara definitif dapat dikatakan, Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan, peribadahan, dan budi pekerti.
Al-Quran merupakan salah satu Kitabullah atau Kitab-Kitab Allah, yakni wahyu-wahyu yang diterima para Nabi/Rasul Allah. Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya.
 Mukjizat para nabi terdahulu lebih bersifat inderawi, yakni bisa diamati dan dilihat langsung oleh indera penglihatan atau lainnya, untuk menampilkan rasa takjub terhadap kaumnya. Kepada Nabi Muhammad Saw, Allah SWT memberikan mukjizat Al-Quran yang kekal abadi sepanjang zaman sehingga dapat disaksikan oleh semua umat manusia dari semua zaman dan tempat sampai akhir nanti[1].
Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.
“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).
Al-Quran tersusun dalam 114 surat dengan 6.236 ayat, 74.437 kalimat, dan 325.345 huruf[2]. Al-Quran diturunkan Allah dalam dua periode:
1.      Periode Makkah, yakni selama 12 tahun 13 hari. Ayat-ayatnya disebut Ayat Makiyah. Ayat pertama turun adalah Q.S. Al-’Alaq:1-5, ketika Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 610 M yang dikenal sebagai “Malam Qadar” (Lailatul Qadr).
Ayat-ayat yang turun di Makkah disebut “Ayat-Ayat Makiyah” dengan ciri khas: ayatnya pendek-pendek, ditujukan kepada umat manusia (diawali kalimat “Ya Ayuhan Naas”, Wahai Manusia), dan berisi hal-hal yang berhubungan dengan tauhid, keimanan, ancaman dan pahala, serta sejarah bangsa-bangsa terdahulu.
2.     Periode Madinah, ayat-ayatnya disebut Ayat Madaniyah. Di Madinah pula ayat terakhir turun, yakni Q.S. 5:3, ketika Nabi Saw tengah menunaikan ibadah haji Wada di Arafah (9 Dzulhijjah 10 H/Maret 632 M).
Ayat-ayat yang turun di Madinah disebut “Ayat-Ayat Madaniyah”, dengan ciri khas: umumnya panjang-panjang, ditujukan kepada kaum beriman (diawali dengan “Ya Ayuhal Ladzina Amanu”, Wahai Orang-Orang Beriman), dan berisi ajaran tentang hukum-hukum, kemasyarakatan, kenegaraan, perang, hukum internasional, serta hukum antaragama dan lain-lain.
Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushhaf Utsmany.
Al-Quran yang merupakan sumber utama ajaran Islam ini benar-benar merupakan kebenaran sejati sebagai pedoman hidup (way of life) manusia. Melalui Al-Quranlah Allah SWT menyatakan kehendak-Nya. Mengikuti tuntunan dan tuntutan Al-Quran berarti mengikuti kehendak-Nya.
Itulah sebabnya Allah sendiri yang menjamin keaslian Al-Quran sejak pertamakali diturunkan. Makanya, hingga kini apa yang ada dalam Al-Quran, itu pula yang diterima dan dicatat para sahabat Nabi Saw. Hingga kini isinya masih dalam teks asli, tanpa sedikit pun perubahan, baik dalam jumlah surat, ayat, bahkan huruf. Tidak tercampur di dalamnya ucapan Nabi Muhammad Saw atau perkataan para sahabat,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Q.S. 15:9).
Salah satu indikasi keaslian al-Quran adalah tidak adanya “Quran tandingan” karena manusia yang paling cerdas sekaligus paling membenci al-Quran pun tidak akan sanggup membuatnya. Allah SWT sendiri menantangnya.
“Jika kamu masih ragu-ragu tentang kebenaran apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), silakan kamu membuat satu surat saja yang sama dengannya (al-Quran). Panggilah saksi-saksi (pemuka dan para ahli) kamu (untuk membantumu) selain Allah, sekiranya kamu benar (bisa melakukan hal itu). Jika kamu tidak sanggup membuatnya dan sekali-kali kamu tidak akan sanggup, takutilah api neraka yang kayu bakarnya manusia dan bantu yang disediakan bagi orang-orang kafir (yang menentang kebenaran al-Quran)” (Q.S. 2:23-24).
“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk mengadakan yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya tidak mereka akan dapat membuatnya, biarpun sebagian mereka membantu sebagian yang lain” (Q.S. 17:88).
Ayat pertama yang diturunkan adalah Iqra’ (bacalah!) yang mengindikasikan kewajiban pertama manusia adalah membaca, baik dengan pancaindera maupun mata hati.
Dari ayat pertama itu saja, Al-Quran sudah menunjukkan bahwa ia rahmat dan bimbingan bagi manusia. Membaca adalah jalan untuk memperoleh ilmu. Dengan ilmu itu manusia bisa mengenal baik dan buruk menurut Allah SWT, mengenal dirinya, juga mengenal Tuhannya. Rahasia alam akan tersingkap denan membaca, juga pembentukan kebudayaan termasuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk “menaklukkan” alam.
Allah SWT mewahyukan Al-Quran tidak lain agar menjadi pedoman bagi hidup umat manusia. Dengan pedoman itu,  manusia akan menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar, sehingga tercipta ketentraman, keharmonisan, dan kebahagiaan hidup.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan. Mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (Q.S. 35:29).
Kewajiban manusia untuk mengimani, membaca, menelaah, menghayati, dan mengamalkan ajaran Al-Quran secara keseluruhan, serta mendakwahkannya (Q.S. Al-'Ashr:1-3). Jika kita memang benar-benar beriman kepada Allah SWT atau mengaku Muslim. Membacanya saja sudah berpahala, bahkan kata Nabi Saw satu huruf mengandung 10 pahala, apalagi jika mengamalkannya.
Isi Al-Quran meliputi segala hal, mulai soal keimanan atau akidah hingga fenomena alam. Al-Quran mengajari manusia bersikap ilmiah atau berdasarkan ilmu (Q.S. 17:36), mendorong manusia melakukan penelitian untuk menyibak tabir alam (Q.S. 10:101), menaklukkan angkasa luar (Q.S. 55:33), mengabarkan prediksi ilmiah tentang rahim ibu (Q.S. Az-Zumar:6), gaya berat atau gravitasi (Q.S. Ar-Rahman:7), pemuaian alam semesta atau expanding universe (Q.S. Adz-Dzariyat:47, Al-Anbiya: 104, Yasin:38), tentang ruang hampa di angkasa luar (Q.S. Al-An’am:125), tentang geologi, gerak rotasi, dan revolusi planet bumi (Q.S. An-Naml:88) dan sebagainya[3].
Allah SWT mengingatkan dalam Al-Quran tentang terbaginya umat Islam kedalam tiga golongan dalam menyikapi Al-Quran (Q.S. Faathir [35]:32).
1.      Golongan zhalimu linafsih (menganiaya diri sendiri).
2.      Golongan saabiqun bil-khairi (cepat berbuat kebajikan).
3.      Golongan muqtashid (pertengahan).
Dewan Penerjemah Al-Quran Depag RI (Al-Quran dan Terjemahannya, Depag RI) memaknai ketiga golongan tersebut sebagai berikut: golongan pertama adalah "orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya"; golongan kedua adalah "orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan; dan golongan "pertengahan" adalah mereka yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya.
Dapat dikatakan, golongan zhalimu linafsih adalah orang yang mengabaikan Al-Quran sebagai pedoman dalam hidupnya. Disebut "menganiaya diri sendiri" karena dengan mengabaikan ajaran Allah ia sesat dalam hidupnya, dunia dan akhirat. Ia menolak untuk mengikuti aturan yang sudah jelas akan menyelamatkannya dunia-akhirat.
Golongan sabiqun bil-khair adalah mereka yang cepat mengamalkan Al-Quran begitu mereka baca dan pahami. Persis sebagaimana dicontohkan Nabi Saw dan para sahabat. Para sahabat bahkan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan (fastabiqul khairat) sebagai pengamalan ajaran Al-Quran (Islam).
Sedangkan golongan muqtashid dapat dikatakan parsial dalam pengamalan Al-Quran. Mereka mencampuradukkan antara ibadah dan maksiat, hak dan batil, ajaran Al-Quran dan ajaran di luar Al-Quran. Mereka tentu termasuk orang yang merugi karena Allah memerintahkan agar kita berislam secara totalitas (kaffah). Wallahu a'lam.



[1] Zainab Al-Ghazali, Menuju Kebangkitan Baru, Gema Insani Press Jakarta, 1995, hlm. 57.
[2] Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989, hlm. 87.
[3] Ibid, hlm. 94-95.
Previous
« Prev Post

2 comments on Sumber Ajaran Islam (1): Al-Quran

  1. Nice posting mas, memang al qur'an adalah mukjizat nabi Muhammad yang bisa kita rasakan manfaatnya sampai sekarang ya....................... makasih

    ReplyDelete

Contact Form

Name

Email *

Message *