Sumber Ajaran Islam (3): Ijtihad
Inilah Islam | Monday, January 14, 2013
Ijtihad adalah sumber ajaran Islam setelah Al-Quran dan Hadits. Ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya mencurahkan tenaga,
memeras pikiran, berusaha keras, bekerja semaksimal mungkin. Secara
terminologis, Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum
atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan
As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid.
Ijtihad merupakan dinamika
Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah “semangat rasionalitas Islam”
dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya.
Banyak masalah baru yang muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad
Saw. Ijtihad diperlukan untuk
merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.
Kedudukan Ijtihad sebagai
sumber ajaran Islam atau sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah,
diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi
dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang
diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana
memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba
akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan
jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika
begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan
jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba
akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala
puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati
Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat
sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi
akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi
Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit.
Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi
walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan
itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran,
dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi
petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku
berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah
Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul
selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang
harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai
alat setiap orang dan akal sebagai
petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan
selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”[1]
Dari kedua keterangan di
atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk
menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan
As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad?
Pada dasarnya, semua umat
Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah,
sejarah Islam, juga berakhlak baik dan
menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya
diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif,
maka hasilnya disebut Ijma’ atau
kesepakatan.
Dalam hal penggunaan
potensi akal dalam kehidupan beragama, Mujtahid merupakan tingkatan tertinggi,
di bawahnya adalah Muttabi’ dan Muqallid.
Muttabi’ artinya mengikuti fatwa
atau ijma’ secara kritis, yakni berusaha memikirkan, menimbang-nimbang, dan
membandingkannya dengan fatwa lain, lalu memilih mana yang dianggap paling benar.
Pekerjaan Muttabi’ disebut Ittiba’.
Muqallid artinya mengikuti sebuah
fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib ditaati atau diikuti, dengan tidak
menggunakan pertimbangan rasio dan tidak berusaha mengetahui sumber fatwa itu
dikeluarkan. Pekerjaan Muqallid
disebut Taklid. Pekerjaan demikian
tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan penggunaan potensi akal
seoptimal mungkin.
Para ulama Madzhab yang
terkenal dan terbanyak pengikutnya di antara ulama-ulama lain, yakni Imam Abu
Hanifah (699 H/767 M), Imam Malik (714 H/798 M), Imam Syafi’i (767 H/854 M),
dan Imam Ahmad bin Hambal (780 H/855 M) yang dikenal dengan Madzahibul Arba’ah (Aliran Empat),
melarang umat Islam bertaklid buta kepada mereka:
“Tidak
halal bagi seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui
darimana sumber pendapat kami itu” (Abu Hanifah).
“Aku
ini hanyalah seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka
koreksilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan Quran dan Sunnah, ambillah,
dan segala yang tidak sesuai dengan Quran dan Sunnah, tinggalkanlah!” (Imam
Malik).
“Apa
yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang
sahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti. Janganlah kamu taklid
kepadaku (La Tuqalliduni)!”
“Jangan
kamu taklid kepadaku (La Tuqallid ni)!
Jangan pula kepada Malik, jangan kepada Syafi’i, dan jangan kepada Ats-Tsauri!
Ambillah dari sumber mana mereka itu mengambil!” (Ahmad bin Hambal).[2]
Ada sejumlah metode dalam
pelaksanaan Ijtihad, yakni Qiyas,
Mashalih Mursalah, Istinbath, Ijma’, dan
Istihsan[3].
A. Qiyas
Qiyas artinya mengukur atau
mempersamakan, yakni memperbandingkan atau mempersamakan hukum suatu perkara
dengan perkara lain berdasarkan persamaan ‘illah
(sebab yang mendasari ketetapan hukum).
Misalnya, arak (khamr) diharamkan karena memabukkan
(Q.S. 2:219) dan riba diharamkan karena mengandung unsur penganiayaan (Q.S.
2:275).
Maka, secara Qiyas, benda
dan hal lain pun jika ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan
menjadi haram juga. Kaidah Ushul Fiqih menyatakan, “Hukum itu berputar menurut ‘illah-nya”.
B. Mashalih Mursalah.
Mashalih
Mursalah
adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak dianjurkan Quran dan
Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara kelestarian dan keselamatan
agama, akal, harta, diri, dan keturunan. Misalnya, membukukan dan mencetak
Al-Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin, imam, khotib, dan guru agama, serta
mengadakan perayaan peringatan Hari-Hari Besar Islam.
C. Istinbath
Istinbath yaitu menghukumi
suatu perkara setelah mempertimbangkan permasalahannya. Misalnya soal riba
(pembayaran berlebih atas utang atau pinjaman yang disyaratkan pemberi
pinjaman). Bunga pinjaman bank secara istinbath dibolehkan karena pinjaman yang
diberikan bersifar pinjaman-produktif.
Tidak ada illat penganiayaan dalam bunga pinjaman
itu karena pinjaman yang diberikan adalah bukan
pinjaman-konsumtif, tetapi untuk modal usaha atau memperbesar modal
perusahaan yang telah berjalan. Kalau pinjaman itu konsumtif, yakni untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka haram hukumnya bunga yang ada dalam
pinjaman itu.
Namun demikian, ada pula
pendapat yang tetap mengharamkan bunga pinjaman-produktif karena tetap
mengandung unsur penganiayaan --bank tidak mau tahu apakah usaha seseorang itu
untung atau rugi.
D. Istihsan
Istihsan adalah penetapan
hukum dengan penyimpangan dari hukum umum kepada hukum khusus untuk mencapai
kemanfaatan. Misalnya, menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian
masjid sambil menunggu biaya pembangunan. Hasilnya dijual dan disediakan untuk
biaya pembangunan masjid.
Contoh lain adalah lupa
makan dan minum selagi berpuasa. Hadits menyebutkan, orang yang berbuat
demikian dianjurkan meneruskan puasanya, tanpa penjelasan batal-tidaknya puasa
orang tersebut.
Namun orang yang berwudhu
lalu lupa atau tanpa sengaja mengeluarkan angin, ditetapkan batal wudhunya.
E. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan
para ulama tentang suatu perkara, meliputi:
·
Ijma’ Qauli,
yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-sendiri tentang suatu
masalah lalu memutuskan hukum yang sama.
·
Ijma’ ‘Amali,
yaitu kesepakatan yang tidak diucapkan namun tercermin dalam kesamaan sikap dan
pengamalan.
·
Ijma’ Sukuti,
yakni “menyetujui dengan cara mendiamkan”. Ulama tertentu mengetapkan hukum
atas suatu perkara dan ulama lain tidak membantahnya. Wallahu a'lam.n
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
No comments on Sumber Ajaran Islam (3): Ijtihad
Post a Comment