Karakteristik Islam (6): Agama Dakwah
Inilah Islam | Monday, January 14, 2013
Islam adalah agama dakwah,
harus disebarkan kepada seluruh umat manusia. Umat Islam bukan saja
berkewajiban melaksanakan ajaran Islam dalam keseharian hidupnya, melainkan
juga harus menyampaikan (tabligh)
atau mendakwahkan kebenaran Islam terhadap orang lain. Para pemeluk Islam telah
digelari Allah sebagai umat pilihan, sebaik-baik umat (khairu ummah) yang bertugas berdakwah, yaitu mengajak kebaikan dan
mencegah kemunkaran (Q.S. 3:110).
Jadi, aktivitas dakwah
harus menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.
"Serulah oleh kalian
(umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka secara baik-baik..." (Q.S. an-Nahl:125).
Dapat dikatakan, setiap
Muslim adalah da'i (juru dakwah). K.H.M. Isa Anshary[1]
menyebutkan, Islam adalah agama dakwah. Menjadi seorang Muslim otomatis menjadi
juru dakwah, menjadi mubalig, bila dan di mana saja, di segala bidang dan
ruang. "Kedudukan kuadrat yang diberikan Islam kepada pemeluknya,"
tulis Isa Anshary, "ialah menjadi seorang Muslim merangkap menjadi juru
dakwah atau mubalig." Nabi Saw bersabda,
“Sampaikanlah dariku
walaupun hanya satu ayat dan engkau boleh menceritakan berita walaupun dari dan
tentang Bani Israil, tidak ada halangannya”
“Katakanlah kebenaran itu
walaupun rasanya pahit/berat” (H.R. Ibnu Hibban).
"Barangsiapa diantara
kalian melihat kemunkaran (kemaksiatan), maka cegahlah hal itu dengan tangannya
(kekuasaan); jika tidak mampu, cegahlah dengan lisannya (ucapan); jika (masih)
tidak mampu, maka cegahlah dengan hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman" (H.R. Muslim).
Setiap Muslim tentunya
harus merasa terpanggil untuk melakukan perubahan (dakwah). Hal ini, seperti
dikemukakan Dr. Yusuf Qardhawi[2],
karena hadits tentang mengubah kemunkaran di atas menjadikan pengubahan sebagai
kewajiban yang dibebankan kepada siapa saja yang melihat kemunkaran.
Dr. Fuad Amsyari[3]
mengatakan, dakwah adalah kewajiban pokok umat Islam yang lingkupnya amat luas
dan sering diabaikan umat. Setiap Muslim harus memiliki peran dakwah, yakni
menyebarkan kebenaran Islam. Rasulullah bersabda: "Sampaikanlah ayat Allah (nilai kebenaran Islam) itu walau kamu
baru mengetahui satu saja (amat sedikit)". Perintah melakukan ‘amar ma’ruf nahyi munkar atau
menyebarluaskan kebajikan dan menangkal kemunkaran/kemaksiatan sudah merupakan
dalil baku Islam.
Dakwah memiliki dimensi
yang luas. Fuad mengemukakan ada empat aktivitas utama dakwah, yakni :
1.
Mengingatkan
orang akan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dengan lisan,
2.
Mengkomunikasikan
prinsip-prinsip Islam melalui karya tulisnya,
3.
Memberi
contoh keteladanan akan perilaku/akhlak yang baik, dan
4.
Bertindak
tegas dengan kemampuan fisik, harta, dan jiwanya dalam menegakkan
prinsip-prinsip Ilahi.
Tentang cara atau teknis
berdakwah, Allah SWT dan Nabi Saw memberikan tuntunan (kaifiyah da’wah), sebagaiman dinyatakan dalam Q.S. an-Nahl:125 dan
hadits tentang mengubah kemunkaran di atas.
Menurut Syaikh Muhammad
Abduh[4],
ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam garis besarnya, umat yang dihadapi
seorang da'i dapat dibagi atas tiga
golongan, yang masing-masingnya dihadapi dengan cara yang berbeda-beda sesuai
hadits:
"Berbicaralah kepada
manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal mereka" (H.R. Muslim).
1.
Ada
golongan cerdik-cendekiawan yang
cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi
dengan hikmah, yakni dengan
alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akan mereka.
2.
Ada
golongan awam, orang kebanyakan yang
belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian
tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau'idzatul
hasanah, dengan ajaran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran
yang mudah dipahami.
3.
Ada
golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut. Mereka
ini dipanggil dengan mujadalah billati
hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir
secara sehat.
Panduan dakwah juga datang
dari Nabi Saw lewat sabdanya tersebut di atas tentang mengubah kemunkaran (H.R.
Muslim). Menurut Dr. Kuntowijoyo[5],
hadits tersebut merupakan strategi perubahan sosial-politik. Pada kenyataannya,
selama ini terdapat tiga macam strategi yang diterapkan oleh umat Islam yang
rujukannya hadits di atas: struktural,
kultural, dan mobilitas sosial.
Tangan, lidah, dan hati masing-masing menunjuk ke struktur, kultur, dan
mobilitas sosial. Mengubah dengan tangan berarti perubahan struktural. Mengubah
dengan lidah berarti perubahan kultural. Mengubah dengan hati berarti perubahan
sosial, tanpa usaha tertentu hanya menunggu waktu.
Rumus strategi struktural
ialah pemberdayaan (empowerment)
masyarakat, melalui tahapan memunculkan kesadaran kritis dan solidaritas sosial
di mana kelompok kritis bersatu dalam sebuah gerakan dan menularkan kesadaran
itu pada masyarakat. Strategi yang menonjolkan syari'ah ini mementingkan
perubahan perilaku kolektif dan struktur politik.
Strategi kultural
menekankan perubahan perilaku individual dan cara berpikir mementingkan
perubahan di dalam. Strategi ini menonjolkan hikmah di mana berlaku rumusan
umum mengenai dakwah (kaifiyat dakwah seperti tercantum dalam Q.S.
An-Nahl:125). Cara yang baik berarti cara-cara kultural, sama sekali tidak
menggunakan pendekatan kekuasaan, paksaan, dan kekerasan.
Mengenai strategi mobilitas
sosial, Kunto merujuk kepada kelahiran SI dan ICMI karena adanya perubahan
struktur sosial kelahiran golongan terpelajar dan pedagang sebagai kelas
menengah baru di kota-kota. Sepanjang abad ke-9 mereka melawan kolonialisme
hanya "melawan dengan hati". Ketika "Islam Politik"
dikucilkan sepanjang 970-1990, mereka juga hanya mampu "mengubah dengan
hati". Wallahu a'lam.n
[1]
KHM Isa Anshary, Mujahid Dakwah, 1984
[2]
Dr. Yusuf Al-Qorodhowy, Fiqih Daulah,
GIP Jakarta.
[3]
Dr. Fuad Amsyari, Masa Depan Umat Islam,
Al-Bayan Bandung, 1993.
[4]
Sebagaimana dikutip M. Natsir dalam Fiqhud
Da’wah, CV Ramadhani Solo, November 1987, hlm. 162.
[5]
Dr. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat
Islam, Mizan Bandung, 1997.
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
No comments on Karakteristik Islam (6): Agama Dakwah
Post a Comment