Karakteristik Islam (5): Agama Keseimbangan
Inilah Islam | Monday, January 14, 2013
A. Keseimbangan
Dunia-Akhirat
Islam mengajarkan umatnya
untuk hidup seimbang antara memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani.
“Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi...” (Q.S. 28:77).
“Bekerjalah untuk duniamu
seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu,
seolah-olah kamu akan mati besok” (H.R. Baihaqi).
“Bukanlah orang yang paling
baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula
yang meninggalkan akhiratnya karena
dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi
beban atas manusia”
(H.R. Ibnu ‘Asakir dari Anas).
Islam sangat menekankan
umatnya agar bekerja, mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia
ini dengan tangan sendiri. Adanya siang dan malam dalam alam dunia ini, merupakan
isyarat akan adanya kewajiban bekerja (pada siang hari).
“Dan Kami telah membuat
waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan” (Q.S. An-Naba’:11).
“Kami telah menjadikan
untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi
sedikit sekali kamu berterima kasih” (Q.S. Al-A’raf:10).
“Maka menyebarlah di bumi
dan carilah rezeki dari keutamaan Allah” (Q.S. A-Jum’ah:10).
“Demi, jika seseorang di
antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian
dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu,
itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain...” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Bekerja mencari rezeki
untuk memberi nafkah keluarga bahkan digolongkan beramal di jalan Allah (Fi Sabilillah). Sebagaimana Sabda Nabi
Saw:
“Jika ada seseorang yang
keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih
kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya
sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan
Allah. Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah
‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan” (H.R. Thabrani).
Rasulullah
Saw pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab,
“Pekerjaan terbaik adalah
usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang
dianggap baik” (H.R.
Ahmad, Baihaqi, dan lain-lain).
Dari sejumlah nash di atas, maka dapat disimpulkan, Islam
memerintahkan umatnya untuk bekerja. Karenanya, dalam Islam bekerja termasuk
ibadah karena bekerja termasuk kewajiban agama. Islam tidak menginginkan
umatnya melulu melakukan ibadah ritual yang sifatnya berhubungan langsung
dengan Allah (hablum minallah),
tetapi menginginkan umatnya juga memperhatikan urusan kebutuhan duniawinya
sendiri (pangan, sandang, dan papan), jangan sampai menjadi pengangguran,
peminta-minta, atau menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya kepada orang
lain.
Dalam bekerja, Islam juga
memberikan arahan atau tuntunan. Umat Islam diharuskan:
(a) Bekerja sebaik-baiknya.
“Sebaik-baik pekerjaan
ialah usahanya seorang pekerja jika ia berbuat sebaik-baiknya” (H.R. Ahmad).
(b) Bekerja keras atau rajin.
“Siapa bekerja keras hingga
lelah dari kerjanya, maka ia terampuni (dosanya) karenanya” (Al-Hadits).[1]
“Berpagi-pagilah dalam
mencari rezeki dan kebutuhan hidup. Sesungguhnya pagi-pagi itu mengandung
berkah dan keberuntungan”
(H.R. Ibnu Adi dari Aisyah).
(c) Menekankan pentingnya
kualitas kerja atau mutu produk.
“Sesungguhnya
Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah
meningkatkan kualitasnya” (Al-Hadits).
(d) Menjaga harga diri
serta bekerja sesuai aturan yang ada.
“Carilah
kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala
persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Menjaga harga diri bisa
berarti tidak melanggar aturan, tidak melakukan perbuatan yang membawa aib pada
diri sendiri, namun sebaliknya, berusaha maksimal mencapai prestasi dan
prestise. Yang dimaksud “segala persoalan berjalan menurut aturan” artinya
mematuhi tata tertib perusahaan atau bekerja sesuai prosedur yang berlaku
(tidak boleh menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan).
B. Keseimbangan Hubungan
dengan Allah dan Manusia.
Keseimbangan ajaran Islam
juga tercermin dalam perintahnya untuk menjalin hubungan harmonis dengan Allah
dan sesama manusia. Islam mengajarkan, kebahagiaan hidup tidak akan datang jika
kita tidak membina hubungan yang baik dengan Allah (hablum minallah) dan sesama manusia (hablum minannaas).
"Akan ditimpakan
kehinaan pada mereka di mana saja mereka berada, kecuali mereka menjaga
hubungan dengan Allah dan hubungan dengan (sesama) manusia." (QS 3:112)
Dengan kata lain, bila kita
tidak bisa atau melalaikan dan merusak hubungan baik dengan Allah SWT dan
sesama manusia, maka kehinaanlah yang akan kita peroleh. Akan menjauh
kebahagiaan hidup yang kita dambakan. Kedua hubungan itu harus sama-sama baik,
tidak boleh cuma salah satunya. Pada zaman Nabi Saw ada seorang wanita yang
rajin beribadah, namun oleh beliau digolongkan ahli neraka (Hiya Fin Nar) karena hubungan dengan
manusianya jelek alias berakhlak buruk (suka mengganggu tetangga).
Bagaimana Islam menuntun
kita untuk menjaga kedua hubungan itu agar baik dan harmonis? Mengenai hal itu,
ada sebuah hadits Nabi SAW yang artinya,
"Bertakwalah pada
Allah di mana saja kamu berada, dan ikutilah perbuatan jelek dengan kebaikan
yang akan menghapus kejelekan itu, serta pergaulilah manusia dengan budi
pekerti (akhlak) yang baik."
Berdasarkan hadits itu,
maka satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Allah SWT adalah
dengan cara bertakwa; dan satu-satunya cara menjaga hubungan baik dengan sesama
manusia adalah dengan akhlak yang baik. Dengan demikian, takwa dan akhlak yang
baik adalah dua hal yang insya Allah bisa membawa kita kepada keselamatan dan
kebahagiaan hidup, di dunia dan akhirat kelak. Sabda Nabi SAW,
“Rasulullah Saw ditanya
tentang kebanyakan hal yang memasukkan manusia ke dalam sorga. Beliau menjawab:
‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik’. Dan beliau ditanya lagi tentang kebanyakan hal yang dapat memasukkan manusia
ke neraka. Beliau menjawab: ‘Mulut dan kemaluan’” (H.R. Tirmidzi).
"Kaum mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (H.R. Ahmad dan Tirmidzi). Wallahu a'lam.*
[1]
Sebagaimana dikutip Prof. Dr. Mutawalli Asy-Sya’rawi, Rezeki, GIP Jakarta, September 2000, hlm. 39 & 5\60
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Mantap
ReplyDelete