Risalah Ramadhan: Syarat dan Rukun Puasa Ramadhan
Inilah Islam | Friday, May 26, 2017
Risalah Ramadhan: Syarat Sah dan Rukun Puasa Ramadhan.
PUASA Ramadhan merupakan rukun Islam yang keempat, setelah syahadat, shalat, dan zakat dan sebelum haji.
Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi umat Islam, sebagaimana wajibnya shalat, zakat, dan haji bagi yang sudah akil baligh dan mampu.
Risalah puasa Ramadhan dalam Islam diperintahkan Allah SWT dalam QS Al-Baqarah:185:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 185).
Tafsir Ibnu Katsir Ayat QS 2:185 tentang Puasa Ramadhan
{ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَ انُ } “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan, (permulaan) al-Qur’an”, yaitu puasa yang diwajibkan atas kalian adalah bulan Ramadhan yaitu bulan yang agung, bulan di mana kalian memperoleh di dalamnya kemuliaan yang besar dari Allah Ta’ala, yaitu al-Qur’an al-Karim yang mengandung petunjuk bagi kemaslahatan kalian, baik untuk agama maupun dunia kalian, dan sebagai penjelas kebenaran dengan sejelas-jelasnya, sebagai pembeda antara yang benar dan yang batil, petunjuk dan kesesatan, orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara, maka patutlah keutamaan ini bagi bulan tersebut, dan hal ini adalah merupakan kebajikan Allah terhadap kalian, dengan menjadikan bulan ini sebagai suatu musim bagi hamba yang diwajibkan padanya berpuasa.
Lalu ketika Allah menetapkan hal itu, menjelaskan keutamaannya dan hikmah Allah Ta’ala dalam pengkhususannya itu, Dia berfirman, { فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ } “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” ini merupakan keharusan berpuasa atas orang yang mampu, sehat lagi hadir, dan ketika nasakh itu memberikan pilihan antara berpuasa dan tebusan (khususnya), ia mengulangi kembali keringanan bagi orang sakit dan musafir agar tidak diduga bahwa keringanan tersebut juga dinasakh, Allah berfirman, [يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ] “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” maksudnya, Allah Ta’ala menghendaki hal yang memudahkan bagi kalian jalan yang menyampaikan kalian kepada ridhaNya dengan kemudahan yang paling mudah dan meringankannya dengan keringanan yang paling ringan.
Oleh karena itu, segala perkara yang diperintahkan oleh Allah atas hamba-hambaNya pada dasarnya adalah sangat mudah sekali, namun bila terjadi suatu rintangan yang menimbulkan kesulitan, maka Allah akan memudahkannya dengan kemudahan lain, yaitu dengan menggugurkannya atau menguranginya dengan segala bentuk pengurangan, dan hal ini adalah suatu hal yang tidak mungkin dibahas perinciannya, karena perinciannya adalah merupakan keseluruhan syariat dan termasuk di dalamnya segala macam keringanan-keringanan dan pengurangan-pengurangan.
{ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ } “Dan hendaknya kamu mencukupkan bilangannya” ayat ini wallahu ‘alam agar orang tidak berfikir bahwa puasa itu dapat dilakukan hanya dengan separuh bulan saja, Allah menolak pemikiran seperti itu dengan memerintahkan untuk menyempurnakan bilangannya, kemudian bersyukur kepada Allah saat telah sempurna segala bimbingan, kemudahan dan penjelasanNya kepada hamba-hambaNya, dan dengan bertakbir ketika berlalunya perkara tersebut, dan termasuk di dalam hal ini adalah bertakbir ketika melihat hilal bulan Syawwal hingga selesainya khutbah ‘id.
“Apabila telah tiba bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Muslim).
“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala (dari Allah) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa melakukan Shalat (tarawih) pada bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala (dari Allah) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu).” (HR. Bukhari)
Wajibnya mengqadha’ bagi orang yang tidak berpuasa karena udzur yang dibolehkan syari’at, di hari-hari yang lainnya.
Mudahnya syariat Islam, dan meniadakan kesulitan dan kesempitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan dalam sabdanya, “Agama Allah ini mudah”, sabda beliau yang lain dalam kitab Shahih Bukhari, “Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat lari”.
Syarat Sahnya Puasa ada dua:
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari atau sejak awal waktu masuk Subuh hingga awal waktu Magrib.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Saw kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.
Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja
Makan atau minum saat berpuasa dengan sengaja membatalkan ibadah puasa. Namun, jika seseorang itu makan atau minum dalam keadaan lupa atau tidak sadar, maka tidak batal puasanya.
.فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ ,فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ,مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَآَلَ أَوْ شَرِبَ
“Barangsiapa yang lupa bahwasanya dia sedang berpuasa, lalu dia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.” (HR Abu Hurairah)
2. Muntah dengan sengaja
Seseorang yang dengan sengaja memuntahkan sesuatu dari perutnya maka puasanya tersebut batal atau tidak sah hukumnya. Namun, jika muntahnya tidak sengaja, maka tidak batal.
.مَنْ ذَرَعَهُ القَيءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِِ
“Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka dia tidak wajib mengqadha’ puasa, sedangkan barangsiapa yang sengaja muntah, maka wajib baginya mengqadha’.”
3. Haid dan Nifas
Seorang wanita yang haid atau nifas tidak diperbolehkan untuk berpuasa selama masa haid atau nifasnya dan ia wajib mengganti atau mengqadha puasa tersebut dikemudian hari setelah bulan ramadhan berakhir.
4. Bersetubuh
Persetubuhan di siang hari bukan saja membatalkan puasa, tapi juga mendatangkan "denda". Jima' pada saat berpuasa maka hukumnya haram. Pelakunya wajib membayar kifarat yakni berpuasa selama dua bulan berturut-turut, memerdekakan budak, atau memberi makan 60 orang miskin sebagaimana hadits rasulullah SAW berikut ini
“Di saat kami sedang duduk bersama Nabi SAW, datanglah seorang laki-laki seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW binasalah aku.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang telah membinasakan dirimu?’ Dia menjawab, ‘Aku telah berhubungan badan dengan isteriku sedangkan aku dalam keadaan berpuasa Ramadhan.’ Beliau bertanya, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Lalu beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’
Beliau bertanya lagi, ‘Dan apakah engkau mampu memberi makan kepada 60 orang miskin?’ Dia pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian Rasulullah SAW diam, dan di saat kami sedang dalam keadaan seperti itu, Rasulullah SAW diberi sekeranjang kurma, lalu beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Orang itu pun menjawab, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’
Laki-laki itu berkata, ‘Adakah orang yang lebih miskin dari pada kami wahai Rasulullah? Demi Allah tidak ada satu keluarga di antara dua tempat yang banyak batu hitamnya di Madinah yang lebih faqir dari pada kami.’ Maka Rasulullah SAW tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau berkata, ‘Berilah makan keluargamu dari sedekah itu.’”
Demikian Risalah Puasa Ramadhan: Syarat dan Rukun Puasa Ramadhan. (Sumber: Fiqhus Sunnah, Shahihain, Ensiklopedi Islam).*
PUASA Ramadhan merupakan rukun Islam yang keempat, setelah syahadat, shalat, dan zakat dan sebelum haji.
Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi umat Islam, sebagaimana wajibnya shalat, zakat, dan haji bagi yang sudah akil baligh dan mampu.
Risalah puasa Ramadhan dalam Islam diperintahkan Allah SWT dalam QS Al-Baqarah:185:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 185).
Tafsir Ibnu Katsir Ayat QS 2:185 tentang Puasa Ramadhan
{ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَ انُ } “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan, (permulaan) al-Qur’an”, yaitu puasa yang diwajibkan atas kalian adalah bulan Ramadhan yaitu bulan yang agung, bulan di mana kalian memperoleh di dalamnya kemuliaan yang besar dari Allah Ta’ala, yaitu al-Qur’an al-Karim yang mengandung petunjuk bagi kemaslahatan kalian, baik untuk agama maupun dunia kalian, dan sebagai penjelas kebenaran dengan sejelas-jelasnya, sebagai pembeda antara yang benar dan yang batil, petunjuk dan kesesatan, orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara, maka patutlah keutamaan ini bagi bulan tersebut, dan hal ini adalah merupakan kebajikan Allah terhadap kalian, dengan menjadikan bulan ini sebagai suatu musim bagi hamba yang diwajibkan padanya berpuasa.
Lalu ketika Allah menetapkan hal itu, menjelaskan keutamaannya dan hikmah Allah Ta’ala dalam pengkhususannya itu, Dia berfirman, { فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ } “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” ini merupakan keharusan berpuasa atas orang yang mampu, sehat lagi hadir, dan ketika nasakh itu memberikan pilihan antara berpuasa dan tebusan (khususnya), ia mengulangi kembali keringanan bagi orang sakit dan musafir agar tidak diduga bahwa keringanan tersebut juga dinasakh, Allah berfirman, [يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ] “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” maksudnya, Allah Ta’ala menghendaki hal yang memudahkan bagi kalian jalan yang menyampaikan kalian kepada ridhaNya dengan kemudahan yang paling mudah dan meringankannya dengan keringanan yang paling ringan.
Oleh karena itu, segala perkara yang diperintahkan oleh Allah atas hamba-hambaNya pada dasarnya adalah sangat mudah sekali, namun bila terjadi suatu rintangan yang menimbulkan kesulitan, maka Allah akan memudahkannya dengan kemudahan lain, yaitu dengan menggugurkannya atau menguranginya dengan segala bentuk pengurangan, dan hal ini adalah suatu hal yang tidak mungkin dibahas perinciannya, karena perinciannya adalah merupakan keseluruhan syariat dan termasuk di dalamnya segala macam keringanan-keringanan dan pengurangan-pengurangan.
{ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ } “Dan hendaknya kamu mencukupkan bilangannya” ayat ini wallahu ‘alam agar orang tidak berfikir bahwa puasa itu dapat dilakukan hanya dengan separuh bulan saja, Allah menolak pemikiran seperti itu dengan memerintahkan untuk menyempurnakan bilangannya, kemudian bersyukur kepada Allah saat telah sempurna segala bimbingan, kemudahan dan penjelasanNya kepada hamba-hambaNya, dan dengan bertakbir ketika berlalunya perkara tersebut, dan termasuk di dalam hal ini adalah bertakbir ketika melihat hilal bulan Syawwal hingga selesainya khutbah ‘id.
Keutamaan Ramadhan
Keutamaan bulan Ramadhan, yang mana Allah Ta’ala mewajibkan kepada hambaNya pada bulan ini, dan cukuplah hadits Nabi Saw untuk menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan:“Apabila telah tiba bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Muslim).
“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala (dari Allah) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa melakukan Shalat (tarawih) pada bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala (dari Allah) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu).” (HR. Bukhari)
Yang Tidak Wajib Puasa: Sakit, Musafir
Ada rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa bagi mereka yang masuk kategori sebagai berikut:- Sakit. Orang-orang yang sakit yang khawatir semakin lama sembuhnya atau semakin parah
- Musafir. Bagi musafir dengan safar yang dibolehkan baginya untuk mengqashar shalat.
- Orang yang Sudah Tua dan Dalam Keadaan Lemah, Juga Orang Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh.
- Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Wajibnya mengqadha’ bagi orang yang tidak berpuasa karena udzur yang dibolehkan syari’at, di hari-hari yang lainnya.
Mudahnya syariat Islam, dan meniadakan kesulitan dan kesempitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan dalam sabdanya, “Agama Allah ini mudah”, sabda beliau yang lain dalam kitab Shahih Bukhari, “Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat lari”.
Syarat Sah Puasa: Yang Wajib Puasa Ramadhan
Yang wajib berpuasa Ramadhan adalah setiap Muslim/Muslimah, baligh, berakal, sehat (tidak sakit), bermukim (bukan musafir), wanita yang suci dari haidh dan nifas.Syarat Sahnya Puasa ada dua:
- Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
- Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain.
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Rukun Puasa Ramadhan
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari atau sejak awal waktu masuk Subuh hingga awal waktu Magrib.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Saw kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.
YANG MEMBATALKAN PUASA
Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja
Makan atau minum saat berpuasa dengan sengaja membatalkan ibadah puasa. Namun, jika seseorang itu makan atau minum dalam keadaan lupa atau tidak sadar, maka tidak batal puasanya.
.فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ ,فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ,مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَآَلَ أَوْ شَرِبَ
“Barangsiapa yang lupa bahwasanya dia sedang berpuasa, lalu dia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.” (HR Abu Hurairah)
2. Muntah dengan sengaja
Seseorang yang dengan sengaja memuntahkan sesuatu dari perutnya maka puasanya tersebut batal atau tidak sah hukumnya. Namun, jika muntahnya tidak sengaja, maka tidak batal.
.مَنْ ذَرَعَهُ القَيءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِِ
“Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka dia tidak wajib mengqadha’ puasa, sedangkan barangsiapa yang sengaja muntah, maka wajib baginya mengqadha’.”
3. Haid dan Nifas
Seorang wanita yang haid atau nifas tidak diperbolehkan untuk berpuasa selama masa haid atau nifasnya dan ia wajib mengganti atau mengqadha puasa tersebut dikemudian hari setelah bulan ramadhan berakhir.
4. Bersetubuh
Persetubuhan di siang hari bukan saja membatalkan puasa, tapi juga mendatangkan "denda". Jima' pada saat berpuasa maka hukumnya haram. Pelakunya wajib membayar kifarat yakni berpuasa selama dua bulan berturut-turut, memerdekakan budak, atau memberi makan 60 orang miskin sebagaimana hadits rasulullah SAW berikut ini
“Di saat kami sedang duduk bersama Nabi SAW, datanglah seorang laki-laki seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW binasalah aku.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang telah membinasakan dirimu?’ Dia menjawab, ‘Aku telah berhubungan badan dengan isteriku sedangkan aku dalam keadaan berpuasa Ramadhan.’ Beliau bertanya, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Lalu beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’
Beliau bertanya lagi, ‘Dan apakah engkau mampu memberi makan kepada 60 orang miskin?’ Dia pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian Rasulullah SAW diam, dan di saat kami sedang dalam keadaan seperti itu, Rasulullah SAW diberi sekeranjang kurma, lalu beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Orang itu pun menjawab, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’
Laki-laki itu berkata, ‘Adakah orang yang lebih miskin dari pada kami wahai Rasulullah? Demi Allah tidak ada satu keluarga di antara dua tempat yang banyak batu hitamnya di Madinah yang lebih faqir dari pada kami.’ Maka Rasulullah SAW tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau berkata, ‘Berilah makan keluargamu dari sedekah itu.’”
Demikian Risalah Puasa Ramadhan: Syarat dan Rukun Puasa Ramadhan. (Sumber: Fiqhus Sunnah, Shahihain, Ensiklopedi Islam).*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
No comments on Risalah Ramadhan: Syarat dan Rukun Puasa Ramadhan
Post a Comment