Karakter Umat Islam (2): . Umat Pertengahan
Inilah Islam | Monday, January 14, 2013
“Demikianlah Kami jadikan
kamu umat pertengahan, supaya kami menjadi saksi atas manusia” (Q.S. 2:143);
Umat Pertengahan maksudnya
adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau mengambil jalan
tengah, yaitu sikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap
kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus[1].
Mengambil jalan tengah
dapat dimaknai pula sebagai selalu bersikap proporsional (i’tidal), tidak berlebih-lebihan (israf), tidak kelewat batas (ghuluw),
tidak sok pintar atau sok konsekuen dan bertele-tele (tanathu’), dan tidak mempersulit diri (tasydid).
Dengan demikian, sebagai
umat pertengahan, umat Islam tidak berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk
ibadah (misalnya sampai meninggalkan kehidupan duniawi) dan dalam peperangan
sekalipun (Q.S. 2:190); tidak membesar-besarkan masalah kecil; mendahulukan
yang wajib atau lebih penting ketimbang yang sunah atau kurang penting;
berbicara seperlunya alias tidka bertele-tele; tidak terlalu panjang membaca
ayat-ayat dalam mengimami shalat berjamaah.
“Makan dan minumlah dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan”
(Q.S. Al-A’raf:31).
“Dan orang-orang yang jika
membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir dan
pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian” (Q.S. Al-Furqon:67).
“Hindarkanlah daripadamu sikap melampuai batas
dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa
karenanya” (H.R.
Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas).
Sebagai umat pertengahan,
umat Islam tidak melakukan hal-hal ekstrem sebagai berikut yang oleh Dr. Yusuf
Qordhowi dikategorikan sebagai tanda-tanda atau buki-bukti ekstremitas[2].
1.
Fanatik
terhadap suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain.
2.
Mewajibkan
sesuatu yang tidak diwajibkan Allah SWT. Misalnya, memaksa orang lain
mengerjakan hal-hal sunah dengan menganggapnya seolah-olah wajib, atau
mengerjakan sesuatu yang lebih berat/sulit daripada yang ringan/mudah. Padahal,
sejalan dengan firman Allah SWT yang menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki
kesukaran (Q.S. 2:185), diriwayatkan bahwa tidaklah Rasulullah Saw disuruh
memilih di antara dua perkara, melainkan selalu memilih yang lebih mudah di
antara keduanya, selama tidak mendatangkan dosa.
3.
Memperberat
yang tidak pada tempatnya. Misalnya, memasalahkan pakaian ala Barat dan
mengharuskan memakai pakaian ala Arab, atau memasalahkan penggunaan masjid
untuk memutar film tentang sejarah dan iptek.
4.
Sikap
kasar dan keras dalam berdakwah. Padahal, dakwah harus dilakukan dengan bijak,
pelajaran yang baik, serta perdebatan atau dialog yang lebih baik (Q.S. 16:25).
Rasulullah Saw sendiri adalah orang yang penyayang, lemah-lembut, dan tidak
berperangai jahat atau kasar hati (Q.S. 9:128, 3:159). Bahkan, Allah SWT pun
memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk mendakwahi Fir’aun dengan perkataan
yang lemah-lembut (Q.S. 20:43-44). Sikap tegas dan keras tidak diperkenankan
Islam kecuali dalam dua tempat, yakni di medan perang (Q.S. 9:123) dan dalam
rangka pelaksanaan sanksi hukum (Q.S. 24:2).
5.
Buruk
sangka terhadap manusia. Yakni memandang orang lain dengan “kacamata hitam”
atau negative thinking, seraya
menyembunyikan kebaikan mereka dan membesar-besarkan keburukan mereka. Menuduh
juga termasuk sikap ekstrem, demikian juga mengorek-ngorek aib dan mencari-cari
kesalahan orang lain. Padahal, Allah SWT memerintahkan umat Islam untik
menghindari kebanyak buruk sangka (Q.S. 49:12). Demikian juga Rasulullah Saw
dengan sabdanya, “Hindarkanlah dirimu
dari buruk sangka, karena sesungguhnya prasangka adalah sebohong-bohong ucapan”
(H.R. Bukhari dan Muslim). Bahkan, sebagian para salaf berkata, “Sungguh aku selalu mencari alasan pembenaran bagi
saudaraku sampai 70 kali, setelah itu aku berkata: ‘Mungkin masih ada alasan
lain yang tidak kuketahui...’”.
Terjerumus
kepada jurang pengkafiran. Ini puncak (klimaks) sikap ekstrem karan
mengkafirkan orang lain berarti menggugurkan kerhormatannya, menghalalkan jiwa
dan hartanya, serta mengabaikan haknya untuk tidak diganggu dan diperlakukan
secara adil. Karena itulah, Rasulullah Saw memperingatkan, “Barangsiapa berkata kepada saudaranya (sesama Muslim)
‘Hai Kafir!’, maka berlakulah perkataan itu pada salah seorang dari keduanya”.
Dari Usamah bin Zaid diberitakan, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah, maka ia telah masuk
Islam serta terpelihara jiwa dan hartanya. Kalaupun ia mengucapkan kalimat itu
karena takut atau hendak berlindung dari tajamnya pedang, maka perhitungannya
pada Allah. Sedangkan bagi kita cukuplah dengan yang nyata (lahiriah)”. Wallahu a'lam.*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
No comments on Karakter Umat Islam (2): . Umat Pertengahan
Post a Comment